Erik Aditia Ismaya
09/298359/PSP/3583
Pascasarjana Sosiologi
Sebuah Pengantar
Setiap manusia mempunyai
hak untuk hidup, hak untuk hidup adalah hak asasi manusia paling hakiki. Kesehatan
adalah salah satu hak dasar hidup yang sudah semestinya dipenuhi, negara harus
menjamin akses kesehatan semua rakyatnya tanpa kecuali. Di Indonesia, pemerintah
telah menjamin akses kesehatan rakyatnya dengan dasar UU No. 36 tahun 2009
tentang Kesehatan. Pasal 5 ayat 1 UU No. 36 tahun 2009 menyebutkan bahwa:
“Setiap orang mempunyai hak yang sama dalam memperoleh akses atas sumber daya
di bidang kesehatan”. Sedangkan tugas dan tanggungjawab Pemerintah diantaranya
diamanatkan dalam pasal 19: “Pemerintah bertanggung jawab atas
ketersediaan segala bentuk upaya kesehatan yang bermutu, aman, efisien, dan
terjangkau”.
Kesehatan
yang menjadi salah satu faktor penting dalam perkembangan bangsa, menjadi
perhatian serius dari pemerintah dan masyarakat. Dari tahun ke tahun berbagai program
dan kebijakan untuk meningkatkan taraf kesehatan dan kesejahteraan dalam rangka
meningkatkan daya saing bangsa di tingkat dunia terus dilaksanakan pemerintah
demi mengejar ketertinggalan dari masyarakat dunia pada umumnya. Berbagai
program dan kebijakan tersebut antara lain: Jaminan Pemeliharaan Kesehatan
Masyarakat (JPKM), Program Keluarga Berencana, Program Asuransi Kesehatan
Miskin, L-I-L, Posyandu, dll. Program
dan kebijakan ini tentunya dilaksanakan dengan maksud dan tujuan yang mulia
bagi rakyat dan bangsa Indonesia yang masih dalam taraf masyarakat berkembang
dan membangun menuju masyarakat yang adil, makmur, sehat dan sejahtera sesuai
amanat Pancasila dan UUD 1945, sehingga rakyat dan bangsa Indonesia berada pada
posisi sejajar dan mampu bersaing dengan masyarakat dunia pada umumnya.
Pada tahun 1999, Indeks Pembangunan Manusia (IPM) Indonesia berada pada
peringkat 103 dari 191 negara (WHO, 2000; UNDP, 2004) dan turun menjadi peringkat
ke112 pada tahun 2004. Indeks Pembangunan Manusia (IPM) ditentukan oleh tiga
indikator yaitu: pertama, indikator kesehatan yang diukur dari umur
harapan hidup (UHH), angka kesakitan serta angka kematian ibu (AKI), angka kematian
bayi dan anak bawah lima tahun (AKB); kedua, indikator kesehatan yang
diukur dari angka melek huruf dan tingkat kesehatan serta ketiga adalah
indikator ekonomi yang diukur dari pendapatan perkapita. Walaupun telah terjadi
penurunan AKI dan AKB serta peningkatan UHH namun Indonesia masih jauh
tertinggal bila dibandingkan dengan beberapa negara Asia lainnya. Tingkat
kesehatan masyarakat diperburuk oleh adanya krisis multidimensi; khusus dalam
bidang kesehatan antara lain terjadi transisi epidemiologis yang menyebabkan
Indonesia mengalami “beban ganda penyakit” atau double burden of diseases,
yaitu saat masalah penyakit infeksi belum hilang, sudah muncul masalah penyakit
degeneratif misalnya penyakit jantung yang memerlukan biaya besar, sementara
dipihak lain, pembiayaan kesehatan masih tetap merupakan masalah yang belum
terselesaikan (Djuhaeni 2004:1).
Realitas diatas menunjukkan
kepada kita betapa ironisnya kondisi rakyat dan bangsa Indonesia saat ini.
Berbagai kebijakan dan program yang dilaksanakan pemerintah untuk membangun dan
meningkatkan taraf kesehatan dan kesejahteraan rakyatnya ternyata masih jauh
dari harapan. Oleh karena itu upaya peningkatan mutu pelayanan kesehatan adalah
salah satu langkah penting untuk meningkatkan daya saing Indonesia di sektor
kesehatan. Upaya ini tentunya membutuhkan kerjasama berbagai pihak terkait,
tidak hanya pemerintah, masyarakat secara sadar harus melibatkan diri secara
aktif, sehingga terdapat sinergi yang baik bagi upaya peningkatan mutu
pelayanan kesehatan.
Di
era globalisasi kesehatan saat ini, dengan alasan peningkatan mutu pelayanan
kepada para pasien atau konsumen, sektor kesehatan melalui rumah sakit memang
telah menunjukkan sebuah revolusi besar dalam hal mutu pelayanan, namun semua
bentuk peningkatan mutu pelayanan itu ada harga yang harus dibayar oleh pasien
atau konsumen. Sehingga disini mulai diadakan perhitungan untung-rugi, saat ini
di Indonesia telah banyak bermunculan rumah sakit-rumah sakit bertaraf
internasional sebagai jawaban atas tuntutan peningkatan mutu layanan, namun
apakah rumah sakit itu benar-benar rumah sakit internasional dengan prosedur
pelayanan dan mutu internasional atau hanya berlabel internasional dengan
standar pelayanan dan mutu yang rendah.
Globalisasi
Kesehatan menjadikan dunia kesehatan yang selama ini sarat dengan aspek
humanitarian sebagai salah satu indikator kualitas sumber daya manusia (SDM),
ternyata telah mengalami distorsi dan menjadi elemen pokok komoditas ekonomi
yang menggiurkan. Rumah sakit sebagai
penyedia dan pelayan kesehatan yang dikelola oleh pemerintah dan swasta yang seharusnya
mengedepankan aspek kemanusiaan dan sosial ternyata mulai mengadopsi
faktor-faktor ekonomi yang berbasis kapital dan beorientasi ke arah
neoliberalisme sektor kesehatan, sehingga terjadi disorientasi pemahaman
substansi makna kesehatan. Rumah sakit telah menjadi salah satu sektor prospektif
yang ternyata sangat menggiurkan karena dapat mendatangkan laba besar bagi
pengelolanya. Rumah sakit telah menjadi bagian dari komoditas ekonomi yang
mengarah pada eksploitasi hak kesehatan publik.
Melihat realitas yang ada
bahwa saat ini dunia kesehatan sudah mulai meninggalkan aspek kemanusiaan dan
sosial, cenderung mengejar keuntungan serta semakin sulit dijangkau oleh rakyat
kecil, saya melalui tulisan ini akan menyampaikan bagaimana mekanisme globalisasi
kesehatan, bagaimana rumah sakit sebagai penyedia dan pelayan jasa kesehatan
menjadi barang yang mahal dan tidak terjangkau, bagaimana tindakan pemerintah
dalam menghadapi tantangan globalisasi kesehatan.
”Jalan Mulus” Menuju Globalisasi Kesehatan
Sejatinya
globalisasi kesehatan adalah perluasan dari globalisasi ekonomi yang hanya
menguntungkan negara-negara maju. Munculnya istilah globalisasi kesehatan bermula dari WTO yang menganggap
kesehatan sebagai jasa yang bisa diperdagangkan atau diperjualbelikan. Sebagai catatan, pemerintah RI telah
meratifikasi WTO melalui UU No 7/1994. Dengan demikian, sejak saat itu
Indonesia menjadi salah satu anggota WTO yang memiliki kewajiban untuk mentaati
segala aturan main yang ada di dalamnya. Organisasi WTO dalam mengatur sistem perdagangan internasional
membedakannya dalam dua kategori, yaitu kategori perdagangan barang dan
perdagangan jasa. Mekanisme perdagangan barang diatur dalam GATT (General
Agreement on Tarif and Trade), sedangkan perdagangan jasa diatur dalam GATS
(General Agreement on Trade in Services). Sampai saat ini WTO telah
membagi belasan sektor jasa yang dapat diperdagangkan di tingkat dunia. Adapun
satu dari belasan sektor tersebut adalah jasa kesehatan. Karena kesehatan
dimasukkan dalam sektor jasa, maka kesehatan menjadi sesuatu yang
dijualbelikan. Jadi, praktik perdagangan atau jual beli jasa kesehatan hukumnya
sah dan dapat dipertanggungjawabkan menurut kacamata WTO (diolah dari Badrun
2008 dan Supriyoko 2009 dengan berbagai penyesuaian).
Jasa
kesehatan termasuk GATS di dalam sektor Health Related Social Services,
subsektor Medical and Dental Services, Hospital Services and Private
Hospital Services. Menurut GATS, pasokan jasa-jasa kesehatan dapat melalui
modus, antara lain:
1.
Pasokan
lintas perbatasan, misalnya melalui telemedicine, pemasaran melalui
internet, iklan agar pasien dirujuk ke RS di Singapura, dan lain-lain.
2.
Konsumsi
luar negeri dan dalam negeri bebas mencari pelayanan ke luar negeri, misalnya
orang-orang kaya Indonesia yang pergi ke luar negeri (Singapura, China,
Australia) untuk berobat, cek kesehatan, cangkok ginjal, dan lain-lain.
3.
Kehadiran
komersial, pemasok asing bebas menanam modal, mendirikan, mengoperasikan, dan
membangun cabang badan usaha di bidang perumahsakitan, misalnya RS Glenn-Eagle
di Jakarta.
4.
Kehadiran
perorangan, membolehkan para manajer, dokter, dokter spesialis, dan tenaga
kesehatan asing lainnya masuk dan bekerja di Indonesia atau sebaliknya (Widajat
2004).
Untuk daerah ASEAN globalisasi
untuk sektor usaha jasa adalah AFAS (Asean Free Agreement on Services)
yang ditandai dengan 4 karakteristik yaitu:
1.
Cross
border supply dan Consumption abroad yang berarti kebebasan kepada pemasok asing untuk memasuki pasar lokal dan
sebaliknya kebebasan kepada masyarakat untuk mengkonsumsi jasa dari luar negeri
2.
Commercial
presence; yang diartikan
kebebasan perusahaan asing untuk mendirikan atau melakukan usaha di dalam
negeri
3.
Presence of natural person;
yaitu kebebasan orang asing untuk memasuki pasar dalam negeri
4.
Most favored nation & national treatment;
yaitu perlakuan yang sama dalam hubungan antar bangsa dan tidak ada perbedaan ketentuan dalam
besarnya modal yang di setor antara perusahaan dalam negeri dan asing
(Christiana Ginting 2004).
Dengan
karakteristik tersebut diatas secara garis besar berarti bahwa ada kemudahan
bagi perusahaan dari lingkungan negara ASEAN untuk mengembangkan usaha di
sektor jasa kesehatan. Kondisi seperti ini tentu harus dipersiapkan dan
diantisipasi secara tepat baik oleh pemerintah maupun pelaku bisnis di
Indonesia agar perusahaan nasional tetap menjadi “the main busisness actor”
di negara sendiri. Dengan
perkataan lain era globalisasi harus
dihadapi sebagai suatu peluang jangan sebagai ancaman. Salah satu kunci
operasional yang harus diterapkan adalah customer retention melalui
“pelayanan prima” kepada pelanggan sehingga pelanggan yang sudah ada tidak lari
kepada perusahaan lain.
Pada
2010 ini globalisasi kesehatan uji coba di Medan dan Surabaya. Di Surabaya,
sudah ada rumah sakit afiliasi asing, selama 2010 dimungkinkan akan bertambah
lagi satu rumah sakit asing dari Australia (Harian Suara Surabaya, Jumat 08
Januari 2010). Sebelum di Medan dan Surabaya, rumah sakit internasional sudah
banyak bermunculan di Jakarta, seperti Rumah Sakit Glenn-Eagle dan Rumah Sakit
Omni.
Rumah Sakit menjadi ”Pasien Globalisasi”
Bidang kesehatan yang paling
terpengaruh oleh dampak globalisasi, yakni antara lain bidang perumahsakitan,
tenaga kesehatan, industri farmasi, alat kesehatan dan asuransi kesehatan. Rumah
sakit sebagai salah satu bidang dalam dunia kesehatan mulai berlomba-lomba
memperbaiki mutu pelayanan kepada konsumennya karena dengan adanya globalisasi
kesehatan. Dalam memilih pelayanan kesehatan, masyarakat semakin diberikan
banyak pilihan untuk memilih pelayanan kesehatan yang berkualitas dan bermutu
tinggi sesuai dengan kemampuan mereka. Dan bagi rumah sakit yang tidak siap
dengan adanya globalisasi kesehatan tentu dengan sendirinya akan tersingkir
dari persaingan bisnis pelayanan kesehatan yang sangat menggiurkan.
Dengan globalisasi kesehatan, semua
rumah sakit baik milik pemerintah maupun swasta dituntut untuk mampu memenuhi
kepentingan dan keinginan konsumennya serta persaingan bisnis penyediaan dan
pelayanan jasa kesehatan. Rumah sakit-rumah sakit pemerintah yang cenderung
kurang memperhatikan kualitas dan mutu pelayanan mulai ditinggalkan masyarakat yang
menginginkan pelayanan prima terlebih lagi bagi mereka yang kaya. Melihat hal
ini, pemerintah tidak tinggal diam, berbagai kebijakan, program dan pembangunan
untuk meningkatkan mutu pelayanan rumah sakit milik pemerintah mulai gencar
dilaksanakan.
Rumah sakit swasta nasional
yang selama ini bersaing dan berdampingan dengan pemerintah dalam memberikan
pelayanan kesehatan juga mulai membenahi diri. Rumah sakit swasta nasional yang
memiliki mutu pelayanan yang lebih baik dari rumah sakit pemerintah senantiasa
berinovasi dan beradaptasi dengan tuntutan globalisasi kesehatan, sehingga
rumah sakit swasta tetap eksis sebagai alternatif pelayanan kesehatan setelah
rumah sakit pemerintah.
Globalisasi kesehatan mengijinkan
dan menghalalkan berdirinya rumah sakit swasta asing di Indonesia. Sehingga di
Indonesia terdapat tiga pelaku besar pelayanan kesehatan selain pelayanan
kesehatan tradisional dan pengobatan alternatif. Keadaan ini membawa angin
segar bagi masyarakat Indonesia karena dengan adanya persaingan dalam bisnis
penyediaan dan pelayanan kesehatan sehingga mutu pelayanan kesehatan meningkat.
Sebagai pelaku pelayanan kesehatan, rumah sakit swasta asing memiliki beberapa
keunggulan dibanding rumah sakit pemerintah dan rumah sakit swasta nasional. Keunggulan
rumah sakit swasta asing adalah telah terbiasa bekerja dengan standar
pelayanan, kualitas dan mutu terbaik serta sistem manajemen profesional,
sehingga kehadiran rumah sakit swasta asing akan menguntungkan kelompok
konsumen tertentu karena mempunyai lebih banyak pilihan pelayanan kesehatan
yang makin bermutu. Namun keberadaan rumah sakit swasta asing juga merupakan
ancaman bagi rumah sakit swasta nasional dan rumah sakit pemerintah, karena
akan tersaingi dan kesenjangan pelayanan kesehatan antara kelompok yang mampu
dan yang kurang mampu akan menjadi lebih lebar.
Rumah sakit sebagai bagian
dari dunia kesehatan telah menjadi pasien dari globalisasi dunia karena telah
terjadi globalisasi di dunia kesehatan. Rumah sakit yang seharusnya
mengedepankan aspek kemanusiaan dan sosial ternyata telah mulai mengadopsi
faktor-faktor ekonomi yang berbasis kapital dan beorientasi ke arah
neoliberalisme. Rumah sakit telah menjadi salah satu sektor prospektif
yang ternyata sangat menggiurkan karena dapat mendatangkan laba besar bagi
pengelolanya. Rumah sakit telah menjadi bagian dari komoditas ekonomi yang
mengarah pada eksploitasi hak kesehatan publik. Dalam pengelolaannya rumah sakit
mulai memperhitungkan untung-rugi yang merupakan sifat dari bisnis, sehingga
istilah/stereotip/stigma atau Rumah Sakit menjadi ”Pasien Globalisasi” yang
saya jadikan subjudul dari paper tampaknya tepat dilabelkan pada rumah sakit
dalam konteks globalisasi kesehatan.
”Sang Pasien
Globalisasi” Yang Tidak Terjangkau Masyarakat Miskin
Globalisasi kesehatan membawa
konsekuensi perubahan dalam paradigma pelayanan di dunia kesehatan. Paradigma
pelayanan di dunia kesehatan kini sudah berubah, dari pandangan lama
"pemberi jasa pelayanan" yang merasa sangat berjasa kepada si pasien,
berubah menjadi "pelayan jasa kesehatan" yang menganggap pasien
sebagai pelanggan (customer oriented). Jangkauan pelayanan kesehatan pun
makin meluas dan proaktif, tidak sekadar mengobati penyakit dan merehabilitasi
kesembuhan, tetapi juga aktif mencegah penyakit dan menggalang keikutsertaan
masyarakat dalam penanggulangan masalah kesehatan.
Globalisasi
kesehatan yang salah satu bentuknya adalah commercial presence yaitu
diperbolehkannya pihak swasta asing untuk membuka layanan rumah sakit di
Indonesia, telah membuka kesempatan bagi masyarakat Indonesia untuk bisa
memilih dan memiliki alternatif pengobatan yang prima, bermutu tinggi dan berkualitas
internasional. Munculnya rumah sakit-rumah sakit baru baik milik swasta
nasional maupun swasta asing sebagai pelayan jasa kesehatan memang sesuatu yang
menggembirakan, rumah sakit-rumah sakit tersebut tentunya berlomba-lomba dalam
memberikan pelayanan yang prima, berkualitas dan bermutu tinggi. Hal ini
tentunya akan semakin meningkatkan taraf kesehatan dan kesejahteraan rakyat dan
bangsa Indonesia serta mampu mengangkat harkat, derajat dan martabat bangsa
Indonesia di dunia Internasional juga akan menaikkan peringkat Indeks
Pembangunan Manusia Indonesia ke rangking yang lebih baik dari tahun-tahun
lalu.
Pelayanan
yang prima, berkualitas tinggi dan bermutu dalam berbagai bentuknya (dokter
yang ramah, cekatan, dan murah senyum; suster yang merawat dengan penuh perhatian
dan kasih sayang; ruang kamar yang bersih, rapi dan wangi dilengkapi dengan AC,
TV, Kulkas dan ruang tamu) yang
diberikan oleh pelayan jasa kesehatan (rumah sakit) tentunya tidak bisa
didapatkan dengan cuma-cuma, si pasien atau konsumen harus mempunyai uang yang
banyak untuk mendapatkan semua pelayanan tersebut.
Sebagai
contoh bentuk pelayanan prima, berkualitas dan bermutu tinggi adalah pelayanan
kesehatan yang disediakan oleh Rumah Sakit Telogorejo Semarang yang mematok
biaya rawat inap untuk ruang rawat Presiden Suite Rp. 225.000,- per hari dan
ini belum termasuk obat dan dokter. Lain lagi dengan Rumah Sakit Internasional Siloam
Gleen-Eagle di Kawasan Lippo Karawaci yang memasang tarif Rp. 2,4 juta dan 1,7
juta per hari, juga di Rumah Sakit Pantai Indah Kapuk yang memasang tarif Rp.
750.000,-/hari untuk Super VIP dan Rp. 500.000,-/hari untuk VIP (Prasetyo
2006:61).
Peningkatan
mutu, kualitas dan pelayanan prima yang menjadi tantangan utama dalam
globalisasi kesehatan yang dihadapi rumah sakit ternyata membawa konsekuensi
yang berdampak sistemik bagi dunia kesehatan dan pelayanan kesehatan di
Indonesia. Rumah sakit sebagai ujung tombak pelayanan kesehatan ketika
Puskesmas tidak lagi mampu menangani keluhan sakit seseorang ternyata telah
menjadi lintah darat yang siap menghisap seluruh kekayaan seorang pasien atau
konsumen tersebut.
Rumah
sakit dengan segala bentuk pelayanan jasa kesehatannya yang bermutu dan
berkualitas tinggi hanya mampu dijangkau oleh mereka yang kaya. Bagi masyarakat
miskin, pelayanan prima, bermutu dan berkuaulitas tinggi tentunya menjadi
sesuatu yang sulit dijangkau dan tidak akan mungkin didapatkan karena rumah
sakit sebagai pelayan jasa kesehatan mulai memperhitungkan untung-rugi dan
semakin jauh dari aspek kemanusiaan dan sosial. Akibat globalisasi kesehatan,
bangsa Indonesia mempunyai ketergantungan total dalam bidang kesehatan pada
negara-negara maju. Kondisi ini terus dipertahankan oleh negara maju, kita dibuat
untuk selalu tergantung..
Rumah
sakit pemerintah seharusnya menjadi Badan Layanan Umum (BLU) yang melayani
masyarakat dengan subsidi besar dari pemerintah, bukannya mengikuti tren
globalisasi kesehatan. Intinya, kesehatan masyarakat adalah tanggunjawab
pemerintah. Kualitas layanan kesehatan khususnya bagi mereka yang tergolong
miskin perlu terus diperbaiki, disamping dari segi biaya yang semestinya tidak
menekan dan membebani mereka. Ditengah beban hidup yang saat ini terus
menghimpit, bagi sebagian orang, kemiskinan telah membuat mereka tidak mampu
berobat ke dokter maupun rumah sakit yang kini biayanya terasa amat mahal.
Beberapa
program layanan kesehatan bagi orang miskin memang telah digulirkan Pemerintah
seperti Askeskin, namun dalam realisasinya kerapkali orang-orang miskin masih
mendapatkan perlakuan-perlakuan diskriminatif yang tidak semestinya. Selain masih
banyak keluarga miskin yang belum bisa menikmati program tersebut. Tingginya
biaya berobat yang sulit dijangkau, khususnya oleh warga kurang mampu perlu
disikapi serius.
Upaya Menangkal Globalisasi Kesehatan
Dalam era globalisasi, dengan terbukanya pintu bagi
tenaga pelayanan asing ke Indonesia maka kita harus bersaing, oleh karena itu
mutu pelayanan kesehatan harus ditingkatkan. Ini berarti bahwa sumber daya
manusianya harus tingkatkan.
Komitmen nasional menuntut pemerintah melakukan gerakan 'membumikan' sektor kesehatan sebagai bagian utama dalam proses pembangunan.
Komitmen nasional menuntut pemerintah melakukan gerakan 'membumikan' sektor kesehatan sebagai bagian utama dalam proses pembangunan.
Dalam hal ini perlu ada
jaminan perlindungan dari Pemeritah terhadap masyarakat dari komersialisasi dan
privatisasi kesehatan. Sebab kecenderungan itu akan semakin menjauhkan golongan
miskin dari akses kesehatan yang bermutu dan murah. Investasi kesehatan
semestinya lebih banyak dianggarkan bagi pemenuhan kesehatan primer yang
mayoritas dibutuhkan oleh masyarakat, bukan pemenuhan kesehatan tersier yang
hanya akan dinikmati oleh golongan mampu.
Kita
tidak bisa menutup mata bahwa pemerintah belum memberikan perhatian yang
optimal opada permasalahan kesehatan seperti layaknya masalah ekonomi. Anggaran
kesehatan Indonesia hanya berkisar pada jumlah 2-4% dari total APBN sementara
yang dianjurkan WHO adalah 8-15%. Maka political will dari pemerintah
yang tepat menjadi kunci keberhasilan pengendalian penyakit dan pembangunan
kesehatan. Maka dapat kita lihat bahwa kesehatan merupakan bagian penting dari
kemakmuran dan kesejahteraan dunia. Jembatan perdamaian untuk keamanan dunia.
Meski pahit, mau tidak mau kita harus siap menghadapi globalisasi termasuk di
dalam dunia kesehatan (Sevinasusilia
2009).
Dalam tulisannya Djazuly
Chalidyanto mengutip dari Julio Frenk dan Octavio Gomez-Dantes pada pertemuan
kesehatan dunia mengemukakan bahwa walaupun banyak ancaman dalam globalisasi
namun meningkatkan kesehatan adalah aktivitas global universal. Mereka
mengusulkan bahwa “exchange, evidence, and empathy” haruslah menjadi
cirri karakter dari aktivitas internasional untuk meningkatkan kesejahteraan
seluruh umat dunia. Exchange adalah kita harus selalu bertukar
pengalaman mengahdapi problem yang terjadi. Evidence, kita membutuhkan
bukti untuk alternatif tindakan sehingga kita dapat membangun pengetahuan yang
solid tentang apa yang berhasil dan apa yang tidak. Terakhir emphaty
yaitu ciri manusia yang membolehkan kita untuk berpartisipasi secara mental di
daerah asing, menghayati, mempertalikan diri dan pada akhirnya menghargai
elemen utama yang mempersatukan kita sebagai anggota rasa kemanusiaan (Sevinasusilia
2009).
Referensi
Aeni, Siti Nur. Menyoal Komersialisasi Kesehatan. Harian Suara Karya Jumat,
13 Nopember 2009.
Djojosugito,
HM Ahmad Prof Dr dr SpB SpBO MHA FICS Kebijakan Pemerintah dalam Bidang Pelayanan Kesehatan
Menyongsong AFTA 2003. Makalah Disampaikan pada Kongres VIII Perhimpunan Rumah Sakit Seluruh Indonesia
Tanggal 6-9 Nopember 2000, di Jakarta Convention Center
Sevinasusilia.
Globalisasi Kesehatan ? May 7, 2009
Layanan Kesehatan Tersumbat oleh Politik dan
Globalisasi. Jurnalnet.com (19/12/2008 - 00:47 WIB).
Prasetyo, Eko. 2006. Orang Miskin Dilarang Sakit.
Yogyakarta: Resist Book.
Setiawan, Oryz. Fenomena Komersialisasi Layanan Kesehatan. Kamis, 22
September 2005.
Soetantini Noer.
Globalisasi Kesehatan, RS Asing Bermunculan. suarasurabaya.net. Kelana Kota 08 Januari 2010, 18:53:29
Susanto, Marcel Hizkia. Komersialisasi Kesehatan: Pengingkaran HAM dan Belum Terwujudnya Welfare
State. Detik.com Rabu, 10/06/2009 09:11 WIB
UU No. 36 Tahun 2009
Tentang Kesehatan
Widajat, Rochmanadji.
Pelayanan Kesehatan di Era Globalisasi. Suara Merdeka Kamis 17 Juni 2004
Tidak ada komentar:
Posting Komentar