10 April 2012

GLOBALISASI KESEHATAN MENGHEMPAS INDONESIA (Pelayanan Rumah Sakit Tidak Terjangkau Masyarakat Miskin)

Erik Aditia Ismaya
09/298359/PSP/3583
Pascasarjana Sosiologi


Sebuah Pengantar
Setiap manusia mempunyai hak untuk hidup, hak untuk hidup adalah hak asasi manusia paling hakiki. Kesehatan adalah salah satu hak dasar hidup yang sudah semestinya dipenuhi, negara harus menjamin akses kesehatan semua rakyatnya tanpa kecuali. Di Indonesia, pemerintah telah menjamin akses kesehatan rakyatnya dengan dasar UU No. 36 tahun 2009 tentang Kesehatan. Pasal 5 ayat 1 UU No. 36 tahun 2009 menyebutkan bahwa: “Setiap orang mempunyai hak yang sama dalam memperoleh akses atas sumber daya di bidang kesehatan”. Sedangkan tugas dan tanggungjawab Pemerintah diantaranya diamanatkan dalam pasal 19: “Pemerintah bertanggung jawab atas ketersediaan segala bentuk upaya kesehatan yang bermutu, aman, efisien, dan terjangkau”.
Kesehatan yang menjadi salah satu faktor penting dalam perkembangan bangsa, menjadi perhatian serius dari pemerintah dan masyarakat. Dari tahun ke tahun berbagai program dan kebijakan untuk meningkatkan taraf kesehatan dan kesejahteraan dalam rangka meningkatkan daya saing bangsa di tingkat dunia terus dilaksanakan pemerintah demi mengejar ketertinggalan dari masyarakat dunia pada umumnya. Berbagai program dan kebijakan tersebut antara lain: Jaminan Pemeliharaan Kesehatan Masyarakat (JPKM), Program Keluarga Berencana, Program Asuransi Kesehatan Miskin, L-I-L, Posyandu,  dll. Program dan kebijakan ini tentunya dilaksanakan dengan maksud dan tujuan yang mulia bagi rakyat dan bangsa Indonesia yang masih dalam taraf masyarakat berkembang dan membangun menuju masyarakat yang adil, makmur, sehat dan sejahtera sesuai amanat Pancasila dan UUD 1945, sehingga rakyat dan bangsa Indonesia berada pada posisi sejajar dan mampu bersaing dengan masyarakat dunia pada umumnya.
Pada tahun 1999, Indeks Pembangunan Manusia (IPM) Indonesia berada pada peringkat 103 dari 191 negara (WHO, 2000; UNDP, 2004) dan turun menjadi peringkat ke112 pada tahun 2004. Indeks Pembangunan Manusia (IPM) ditentukan oleh tiga indikator yaitu: pertama, indikator kesehatan yang diukur dari umur harapan hidup (UHH), angka kesakitan serta angka kematian ibu (AKI), angka kematian bayi dan anak bawah lima tahun (AKB); kedua, indikator kesehatan yang diukur dari angka melek huruf dan tingkat kesehatan serta ketiga adalah indikator ekonomi yang diukur dari pendapatan perkapita. Walaupun telah terjadi penurunan AKI dan AKB serta peningkatan UHH namun Indonesia masih jauh tertinggal bila dibandingkan dengan beberapa negara Asia lainnya. Tingkat kesehatan masyarakat diperburuk oleh adanya krisis multidimensi; khusus dalam bidang kesehatan antara lain terjadi transisi epidemiologis yang menyebabkan Indonesia mengalami “beban ganda penyakit” atau double burden of diseases, yaitu saat masalah penyakit infeksi belum hilang, sudah muncul masalah penyakit degeneratif misalnya penyakit jantung yang memerlukan biaya besar, sementara dipihak lain, pembiayaan kesehatan masih tetap merupakan masalah yang belum terselesaikan (Djuhaeni 2004:1).
Realitas diatas menunjukkan kepada kita betapa ironisnya kondisi rakyat dan bangsa Indonesia saat ini. Berbagai kebijakan dan program yang dilaksanakan pemerintah untuk membangun dan meningkatkan taraf kesehatan dan kesejahteraan rakyatnya ternyata masih jauh dari harapan. Oleh karena itu upaya peningkatan mutu pelayanan kesehatan adalah salah satu langkah penting untuk meningkatkan daya saing Indonesia di sektor kesehatan. Upaya ini tentunya membutuhkan kerjasama berbagai pihak terkait, tidak hanya pemerintah, masyarakat secara sadar harus melibatkan diri secara aktif, sehingga terdapat sinergi yang baik bagi upaya peningkatan mutu pelayanan kesehatan.
Di era globalisasi kesehatan saat ini, dengan alasan peningkatan mutu pelayanan kepada para pasien atau konsumen, sektor kesehatan melalui rumah sakit memang telah menunjukkan sebuah revolusi besar dalam hal mutu pelayanan, namun semua bentuk peningkatan mutu pelayanan itu ada harga yang harus dibayar oleh pasien atau konsumen. Sehingga disini mulai diadakan perhitungan untung-rugi, saat ini di Indonesia telah banyak bermunculan rumah sakit-rumah sakit bertaraf internasional sebagai jawaban atas tuntutan peningkatan mutu layanan, namun apakah rumah sakit itu benar-benar rumah sakit internasional dengan prosedur pelayanan dan mutu internasional atau hanya berlabel internasional dengan standar pelayanan dan mutu yang rendah.
Globalisasi Kesehatan menjadikan dunia kesehatan yang selama ini sarat dengan aspek humanitarian sebagai salah satu indikator kualitas sumber daya manusia (SDM), ternyata telah mengalami distorsi dan menjadi elemen pokok komoditas ekonomi yang menggiurkan. Rumah sakit  sebagai penyedia dan pelayan kesehatan yang dikelola oleh pemerintah dan swasta yang seharusnya mengedepankan aspek kemanusiaan dan sosial ternyata mulai mengadopsi faktor-faktor ekonomi yang berbasis kapital dan beorientasi ke arah neoliberalisme sektor kesehatan, sehingga terjadi disorientasi pemahaman substansi makna kesehatan. Rumah sakit telah menjadi salah satu sektor prospektif yang ternyata sangat menggiurkan karena dapat mendatangkan laba besar bagi pengelolanya. Rumah sakit telah menjadi bagian dari komoditas ekonomi yang mengarah pada eksploitasi hak kesehatan publik.
Melihat realitas yang ada bahwa saat ini dunia kesehatan sudah mulai meninggalkan aspek kemanusiaan dan sosial, cenderung mengejar keuntungan serta semakin sulit dijangkau oleh rakyat kecil, saya melalui tulisan ini akan menyampaikan bagaimana mekanisme globalisasi kesehatan, bagaimana rumah sakit sebagai penyedia dan pelayan jasa kesehatan menjadi barang yang mahal dan tidak terjangkau, bagaimana tindakan pemerintah dalam menghadapi tantangan globalisasi kesehatan.


”Jalan Mulus” Menuju Globalisasi Kesehatan
Sejatinya globalisasi kesehatan adalah perluasan dari globalisasi ekonomi yang hanya menguntungkan negara-negara maju. Munculnya istilah globalisasi kesehatan bermula dari WTO yang menganggap kesehatan sebagai jasa yang bisa diperdagangkan atau diperjualbelikan. Sebagai catatan, pemerintah RI telah meratifikasi WTO melalui UU No 7/1994. Dengan demikian, sejak saat itu Indonesia menjadi salah satu anggota WTO yang memiliki kewajiban untuk mentaati segala aturan main yang ada di dalamnya. Organisasi WTO dalam mengatur sistem perdagangan internasional membedakannya dalam dua kategori, yaitu kategori perdagangan barang dan perdagangan jasa. Mekanisme perdagangan barang diatur dalam GATT (General Agreement on Tarif and Trade), sedangkan perdagangan jasa diatur dalam GATS (General Agreement on Trade in Services). Sampai saat ini WTO telah membagi belasan sektor jasa yang dapat diperdagangkan di tingkat dunia. Adapun satu dari belasan sektor tersebut adalah jasa kesehatan. Karena kesehatan dimasukkan dalam sektor jasa, maka kesehatan menjadi sesuatu yang dijualbelikan. Jadi, praktik perdagangan atau jual beli jasa kesehatan hukumnya sah dan dapat dipertanggungjawabkan menurut kacamata WTO (diolah dari Badrun 2008 dan Supriyoko 2009 dengan berbagai penyesuaian).
Jasa kesehatan termasuk GATS di dalam sektor Health Related Social Services, subsektor Medical and Dental Services, Hospital Services and Private Hospital Services. Menurut GATS, pasokan jasa-jasa kesehatan dapat melalui modus, antara lain:
1.      Pasokan lintas perbatasan, misalnya melalui telemedicine, pemasaran melalui internet, iklan agar pasien dirujuk ke RS di Singapura, dan lain-lain.
2.      Konsumsi luar negeri dan dalam negeri bebas mencari pelayanan ke luar negeri, misalnya orang-orang kaya Indonesia yang pergi ke luar negeri (Singapura, China, Australia) untuk berobat, cek kesehatan, cangkok ginjal, dan lain-lain.
3.      Kehadiran komersial, pemasok asing bebas menanam modal, mendirikan, mengoperasikan, dan membangun cabang badan usaha di bidang perumahsakitan, misalnya RS Glenn-Eagle di Jakarta.
4.      Kehadiran perorangan, membolehkan para manajer, dokter, dokter spesialis, dan tenaga kesehatan asing lainnya masuk dan bekerja di Indonesia atau sebaliknya (Widajat 2004).
Untuk daerah ASEAN globalisasi untuk sektor usaha jasa adalah AFAS (Asean Free Agreement on Services) yang ditandai dengan 4 karakteristik yaitu:
1.      Cross border supply dan Consumption abroad yang berarti kebebasan kepada pemasok asing untuk memasuki pasar lokal dan sebaliknya kebebasan kepada masyarakat untuk mengkonsumsi jasa dari luar negeri
2.      Commercial presence; yang diartikan kebebasan perusahaan asing untuk mendirikan atau melakukan usaha di dalam negeri
3.      Presence of natural person; yaitu kebebasan orang asing untuk memasuki pasar dalam negeri
4.      Most favored nation  & national treatment; yaitu perlakuan yang sama dalam hubungan antar bangsa  dan tidak ada perbedaan ketentuan dalam besarnya modal yang di setor antara perusahaan dalam negeri dan asing (Christiana Ginting 2004).
Dengan karakteristik tersebut diatas secara garis besar berarti bahwa ada kemudahan bagi perusahaan dari lingkungan negara ASEAN untuk mengembangkan usaha di sektor jasa kesehatan. Kondisi seperti ini tentu harus dipersiapkan dan diantisipasi secara tepat baik oleh pemerintah maupun pelaku bisnis di Indonesia agar perusahaan nasional tetap menjadi “the main busisness actor” di negara sendiri. Dengan perkataan lain  era globalisasi harus dihadapi sebagai suatu peluang jangan sebagai ancaman. Salah satu kunci operasional yang harus diterapkan adalah customer retention melalui “pelayanan prima” kepada pelanggan sehingga pelanggan yang sudah ada tidak lari kepada perusahaan lain.
Pada 2010 ini globalisasi kesehatan uji coba di Medan dan Surabaya. Di Surabaya, sudah ada rumah sakit afiliasi asing, selama 2010 dimungkinkan akan bertambah lagi satu rumah sakit asing dari Australia (Harian Suara Surabaya, Jumat 08 Januari 2010). Sebelum di Medan dan Surabaya, rumah sakit internasional sudah banyak bermunculan di Jakarta, seperti Rumah Sakit Glenn-Eagle dan Rumah Sakit Omni.

Rumah Sakit menjadi ”Pasien Globalisasi”
Bidang kesehatan yang paling terpengaruh oleh dampak globalisasi, yakni antara lain bidang perumahsakitan, tenaga kesehatan, industri farmasi, alat kesehatan dan asuransi kesehatan. Rumah sakit sebagai salah satu bidang dalam dunia kesehatan mulai berlomba-lomba memperbaiki mutu pelayanan kepada konsumennya karena dengan adanya globalisasi kesehatan. Dalam memilih pelayanan kesehatan, masyarakat semakin diberikan banyak pilihan untuk memilih pelayanan kesehatan yang berkualitas dan bermutu tinggi sesuai dengan kemampuan mereka. Dan bagi rumah sakit yang tidak siap dengan adanya globalisasi kesehatan tentu dengan sendirinya akan tersingkir dari persaingan bisnis pelayanan kesehatan yang sangat menggiurkan.
Dengan globalisasi kesehatan, semua rumah sakit baik milik pemerintah maupun swasta dituntut untuk mampu memenuhi kepentingan dan keinginan konsumennya serta persaingan bisnis penyediaan dan pelayanan jasa kesehatan. Rumah sakit-rumah sakit pemerintah yang cenderung kurang memperhatikan kualitas dan mutu pelayanan mulai ditinggalkan masyarakat yang menginginkan pelayanan prima terlebih lagi bagi mereka yang kaya. Melihat hal ini, pemerintah tidak tinggal diam, berbagai kebijakan, program dan pembangunan untuk meningkatkan mutu pelayanan rumah sakit milik pemerintah mulai gencar dilaksanakan.
Rumah sakit swasta nasional yang selama ini bersaing dan berdampingan dengan pemerintah dalam memberikan pelayanan kesehatan juga mulai membenahi diri. Rumah sakit swasta nasional yang memiliki mutu pelayanan yang lebih baik dari rumah sakit pemerintah senantiasa berinovasi dan beradaptasi dengan tuntutan globalisasi kesehatan, sehingga rumah sakit swasta tetap eksis sebagai alternatif pelayanan kesehatan setelah rumah sakit pemerintah.
Globalisasi kesehatan mengijinkan dan menghalalkan berdirinya rumah sakit swasta asing di Indonesia. Sehingga di Indonesia terdapat tiga pelaku besar pelayanan kesehatan selain pelayanan kesehatan tradisional dan pengobatan alternatif. Keadaan ini membawa angin segar bagi masyarakat Indonesia karena dengan adanya persaingan dalam bisnis penyediaan dan pelayanan kesehatan sehingga mutu pelayanan kesehatan meningkat. Sebagai pelaku pelayanan kesehatan, rumah sakit swasta asing memiliki beberapa keunggulan dibanding rumah sakit pemerintah dan rumah sakit swasta nasional. Keunggulan rumah sakit swasta asing adalah telah terbiasa bekerja dengan standar pelayanan, kualitas dan mutu terbaik serta sistem manajemen profesional, sehingga kehadiran rumah sakit swasta asing akan menguntungkan kelompok konsumen tertentu karena mempunyai lebih banyak pilihan pelayanan kesehatan yang makin bermutu. Namun keberadaan rumah sakit swasta asing juga merupakan ancaman bagi rumah sakit swasta nasional dan rumah sakit pemerintah, karena akan tersaingi dan kesenjangan pelayanan kesehatan antara kelompok yang mampu dan yang kurang mampu akan menjadi lebih lebar.
Rumah sakit sebagai bagian dari dunia kesehatan telah menjadi pasien dari globalisasi dunia karena telah terjadi globalisasi di dunia kesehatan. Rumah sakit yang seharusnya mengedepankan aspek kemanusiaan dan sosial ternyata telah mulai mengadopsi faktor-faktor ekonomi yang berbasis kapital dan beorientasi ke arah neoliberalisme. Rumah sakit telah menjadi salah satu sektor prospektif yang ternyata sangat menggiurkan karena dapat mendatangkan laba besar bagi pengelolanya. Rumah sakit telah menjadi bagian dari komoditas ekonomi yang mengarah pada eksploitasi hak kesehatan publik. Dalam pengelolaannya rumah sakit mulai memperhitungkan untung-rugi yang merupakan sifat dari bisnis, sehingga istilah/stereotip/stigma atau Rumah Sakit menjadi ”Pasien Globalisasi” yang saya jadikan subjudul dari paper tampaknya tepat dilabelkan pada rumah sakit dalam konteks globalisasi kesehatan.

”Sang Pasien Globalisasi” Yang Tidak Terjangkau Masyarakat Miskin
Globalisasi kesehatan membawa konsekuensi perubahan dalam paradigma pelayanan di dunia kesehatan. Paradigma pelayanan di dunia kesehatan kini sudah berubah, dari pandangan lama "pemberi jasa pelayanan" yang merasa sangat berjasa kepada si pasien, berubah menjadi "pelayan jasa kesehatan" yang menganggap pasien sebagai pelanggan (customer oriented). Jangkauan pelayanan kesehatan pun makin meluas dan proaktif, tidak sekadar mengobati penyakit dan merehabilitasi kesembuhan, tetapi juga aktif mencegah penyakit dan menggalang keikutsertaan masyarakat dalam penanggulangan masalah kesehatan.
Globalisasi kesehatan yang salah satu bentuknya adalah commercial presence yaitu diperbolehkannya pihak swasta asing untuk membuka layanan rumah sakit di Indonesia, telah membuka kesempatan bagi masyarakat Indonesia untuk bisa memilih dan memiliki alternatif pengobatan yang prima, bermutu tinggi dan berkualitas internasional. Munculnya rumah sakit-rumah sakit baru baik milik swasta nasional maupun swasta asing sebagai pelayan jasa kesehatan memang sesuatu yang menggembirakan, rumah sakit-rumah sakit tersebut tentunya berlomba-lomba dalam memberikan pelayanan yang prima, berkualitas dan bermutu tinggi. Hal ini tentunya akan semakin meningkatkan taraf kesehatan dan kesejahteraan rakyat dan bangsa Indonesia serta mampu mengangkat harkat, derajat dan martabat bangsa Indonesia di dunia Internasional juga akan menaikkan peringkat Indeks Pembangunan Manusia Indonesia ke rangking yang lebih baik dari tahun-tahun lalu.
Pelayanan yang prima, berkualitas tinggi dan bermutu dalam berbagai bentuknya (dokter yang ramah, cekatan, dan murah senyum; suster yang merawat dengan penuh perhatian dan kasih sayang; ruang kamar yang bersih, rapi dan wangi dilengkapi dengan AC, TV, Kulkas dan ruang tamu)  yang diberikan oleh pelayan jasa kesehatan (rumah sakit) tentunya tidak bisa didapatkan dengan cuma-cuma, si pasien atau konsumen harus mempunyai uang yang banyak untuk mendapatkan semua pelayanan tersebut.
Sebagai contoh bentuk pelayanan prima, berkualitas dan bermutu tinggi adalah pelayanan kesehatan yang disediakan oleh Rumah Sakit Telogorejo Semarang yang mematok biaya rawat inap untuk ruang rawat Presiden Suite Rp. 225.000,- per hari dan ini belum termasuk obat dan dokter. Lain lagi dengan Rumah Sakit Internasional Siloam Gleen-Eagle di Kawasan Lippo Karawaci yang memasang tarif Rp. 2,4 juta dan 1,7 juta per hari, juga di Rumah Sakit Pantai Indah Kapuk yang memasang tarif Rp. 750.000,-/hari untuk Super VIP dan Rp. 500.000,-/hari untuk VIP (Prasetyo 2006:61).
Peningkatan mutu, kualitas dan pelayanan prima yang menjadi tantangan utama dalam globalisasi kesehatan yang dihadapi rumah sakit ternyata membawa konsekuensi yang berdampak sistemik bagi dunia kesehatan dan pelayanan kesehatan di Indonesia. Rumah sakit sebagai ujung tombak pelayanan kesehatan ketika Puskesmas tidak lagi mampu menangani keluhan sakit seseorang ternyata telah menjadi lintah darat yang siap menghisap seluruh kekayaan seorang pasien atau konsumen tersebut.
Rumah sakit dengan segala bentuk pelayanan jasa kesehatannya yang bermutu dan berkualitas tinggi hanya mampu dijangkau oleh mereka yang kaya. Bagi masyarakat miskin, pelayanan prima, bermutu dan berkuaulitas tinggi tentunya menjadi sesuatu yang sulit dijangkau dan tidak akan mungkin didapatkan karena rumah sakit sebagai pelayan jasa kesehatan mulai memperhitungkan untung-rugi dan semakin jauh dari aspek kemanusiaan dan sosial. Akibat globalisasi kesehatan, bangsa Indonesia mempunyai ketergantungan total dalam bidang kesehatan pada negara-negara maju. Kondisi ini terus dipertahankan oleh negara maju, kita dibuat untuk selalu tergantung..
Rumah sakit pemerintah seharusnya menjadi Badan Layanan Umum (BLU) yang melayani masyarakat dengan subsidi besar dari pemerintah, bukannya mengikuti tren globalisasi kesehatan. Intinya, kesehatan masyarakat adalah tanggunjawab pemerintah. Kualitas layanan kesehatan khususnya bagi mereka yang tergolong miskin perlu terus diperbaiki, disamping dari segi biaya yang semestinya tidak menekan dan membebani mereka. Ditengah beban hidup yang saat ini terus menghimpit, bagi sebagian orang, kemiskinan telah membuat mereka tidak mampu berobat ke dokter maupun rumah sakit yang kini biayanya terasa amat mahal.
Beberapa program layanan kesehatan bagi orang miskin memang telah digulirkan Pemerintah seperti Askeskin, namun dalam realisasinya kerapkali orang-orang miskin masih mendapatkan perlakuan-perlakuan diskriminatif yang tidak semestinya. Selain masih banyak keluarga miskin yang belum bisa menikmati program tersebut. Tingginya biaya berobat yang sulit dijangkau, khususnya oleh warga kurang mampu perlu disikapi serius.

Upaya Menangkal Globalisasi Kesehatan
Dalam era globalisasi, dengan terbukanya pintu bagi tenaga pelayanan asing ke Indonesia maka kita harus bersaing, oleh karena itu mutu pelayanan kesehatan harus ditingkatkan. Ini berarti bahwa sumber daya manusianya harus tingkatkan.
Komitmen nasional menuntut pemerintah melakukan gerakan 'membumikan' sektor kesehatan sebagai bagian utama dalam proses pembangunan.
Dalam hal ini perlu ada jaminan perlindungan dari Pemeritah terhadap masyarakat dari komersialisasi dan privatisasi kesehatan. Sebab kecenderungan itu akan semakin menjauhkan golongan miskin dari akses kesehatan yang bermutu dan murah. Investasi kesehatan semestinya lebih banyak dianggarkan bagi pemenuhan kesehatan primer yang mayoritas dibutuhkan oleh masyarakat, bukan pemenuhan kesehatan tersier yang hanya akan dinikmati oleh golongan mampu.
Kita tidak bisa menutup mata bahwa pemerintah belum memberikan perhatian yang optimal opada permasalahan kesehatan seperti layaknya masalah ekonomi. Anggaran kesehatan Indonesia hanya berkisar pada jumlah 2-4% dari total APBN sementara yang dianjurkan WHO adalah 8-15%. Maka political will dari pemerintah yang tepat menjadi kunci keberhasilan pengendalian penyakit dan pembangunan kesehatan. Maka dapat kita lihat bahwa kesehatan merupakan bagian penting dari kemakmuran dan kesejahteraan dunia. Jembatan perdamaian untuk keamanan dunia. Meski pahit, mau tidak mau kita harus siap menghadapi globalisasi termasuk di dalam dunia kesehatan (Sevinasusilia 2009).
Dalam tulisannya Djazuly Chalidyanto mengutip dari Julio Frenk dan Octavio Gomez-Dantes pada pertemuan kesehatan dunia mengemukakan bahwa walaupun banyak ancaman dalam globalisasi namun meningkatkan kesehatan adalah aktivitas global universal. Mereka mengusulkan bahwa “exchange, evidence, and empathy” haruslah menjadi cirri karakter dari aktivitas internasional untuk meningkatkan kesejahteraan seluruh umat dunia. Exchange adalah kita harus selalu bertukar pengalaman mengahdapi problem yang terjadi. Evidence, kita membutuhkan bukti untuk alternatif tindakan sehingga kita dapat membangun pengetahuan yang solid tentang apa yang berhasil dan apa yang tidak. Terakhir emphaty yaitu ciri manusia yang membolehkan kita untuk berpartisipasi secara mental di daerah asing, menghayati, mempertalikan diri dan pada akhirnya menghargai elemen utama yang mempersatukan kita sebagai anggota rasa kemanusiaan (Sevinasusilia 2009).
Referensi


Aeni, Siti Nur. Menyoal Komersialisasi Kesehatan. Harian Suara Karya Jumat, 13 Nopember 2009.

Djojosugito, HM Ahmad Prof Dr dr SpB SpBO MHA FICS Kebijakan Pemerintah dalam Bidang Pelayanan Kesehatan Menyongsong AFTA 2003. Makalah Disampaikan pada Kongres VIII Perhimpunan Rumah Sakit Seluruh Indonesia Tanggal 6-9 Nopember 2000, di Jakarta Convention Center
Layanan Kesehatan Tersumbat oleh Politik dan Globalisasi. Jurnalnet.com (19/12/2008 - 00:47 WIB).

Prasetyo, Eko. 2006. Orang Miskin Dilarang Sakit. Yogyakarta: Resist Book.

Setiawan, Oryz. Fenomena Komersialisasi Layanan Kesehatan. Kamis, 22 September 2005.

Soetantini Noer. Globalisasi Kesehatan, RS Asing Bermunculan. suarasurabaya.net. Kelana Kota 08 Januari 2010, 18:53:29

Susanto, Marcel Hizkia. Komersialisasi Kesehatan: Pengingkaran HAM dan Belum Terwujudnya Welfare State. Detik.com Rabu, 10/06/2009 09:11 WIB

UU No. 36 Tahun 2009 Tentang Kesehatan

Widajat, Rochmanadji. Pelayanan Kesehatan di Era Globalisasi. Suara Merdeka Kamis 17 Juni 2004

Tidak ada komentar: