Erik Aditia Ismaya
09/298359/PSP/3583
Pascasarjana Sosiologi
Sebuah Pengantar
Setiap manusia mempunyai
hak untuk hidup, hak untuk hidup adalah hak asasi manusia paling hakiki. Kesehatan
adalah salah satu hak dasar hidup yang sudah semestinya dipenuhi, negara harus
menjamin akses kesehatan semua rakyatnya tanpa kecuali. Di Indonesia, pemerintah
telah menjamin akses kesehatan rakyatnya dengan dasar UU No. 36 tahun 2009
tentang Kesehatan. Pasal 5 ayat 1 UU No. 36 tahun 2009 menyebutkan bahwa:
“Setiap orang mempunyai hak yang sama dalam memperoleh akses atas sumber daya
di bidang kesehatan”. Sedangkan tugas dan tanggungjawab Pemerintah diantaranya
diamanatkan dalam pasal 19: “Pemerintah bertanggung jawab atas
ketersediaan segala bentuk upaya kesehatan yang bermutu, aman, efisien, dan
terjangkau”.
Kesehatan
yang menjadi salah satu faktor penting dalam perkembangan bangsa, menjadi
perhatian serius dari pemerintah dan masyarakat. Dari tahun ke tahun berbagai program
dan kebijakan untuk meningkatkan taraf kesehatan dan kesejahteraan dalam rangka
meningkatkan daya saing bangsa di tingkat dunia terus dilaksanakan pemerintah
demi mengejar ketertinggalan dari masyarakat dunia pada umumnya. Berbagai
program dan kebijakan tersebut antara lain: Jaminan Pemeliharaan Kesehatan
Masyarakat (JPKM), Program Keluarga Berencana, Program Asuransi Kesehatan
Miskin, L-I-L, Posyandu, dll. Program
dan kebijakan ini tentunya dilaksanakan dengan maksud dan tujuan yang mulia
bagi rakyat dan bangsa Indonesia yang masih dalam taraf masyarakat berkembang
dan membangun menuju masyarakat yang adil, makmur, sehat dan sejahtera sesuai
amanat Pancasila dan UUD 1945, sehingga rakyat dan bangsa Indonesia berada pada
posisi sejajar dan mampu bersaing dengan masyarakat dunia pada umumnya.
Pada tahun 1999, Indeks Pembangunan Manusia (IPM) Indonesia berada pada
peringkat 103 dari 191 negara (WHO, 2000; UNDP, 2004) dan turun menjadi peringkat
ke112 pada tahun 2004. Indeks Pembangunan Manusia (IPM) ditentukan oleh tiga
indikator yaitu: pertama, indikator kesehatan yang diukur dari umur
harapan hidup (UHH), angka kesakitan serta angka kematian ibu (AKI), angka kematian
bayi dan anak bawah lima tahun (AKB); kedua, indikator kesehatan yang
diukur dari angka melek huruf dan tingkat kesehatan serta ketiga adalah
indikator ekonomi yang diukur dari pendapatan perkapita. Walaupun telah terjadi
penurunan AKI dan AKB serta peningkatan UHH namun Indonesia masih jauh
tertinggal bila dibandingkan dengan beberapa negara Asia lainnya. Tingkat
kesehatan masyarakat diperburuk oleh adanya krisis multidimensi; khusus dalam
bidang kesehatan antara lain terjadi transisi epidemiologis yang menyebabkan
Indonesia mengalami “beban ganda penyakit” atau double burden of diseases,
yaitu saat masalah penyakit infeksi belum hilang, sudah muncul masalah penyakit
degeneratif misalnya penyakit jantung yang memerlukan biaya besar, sementara
dipihak lain, pembiayaan kesehatan masih tetap merupakan masalah yang belum
terselesaikan (Djuhaeni 2004:1).
Realitas diatas menunjukkan
kepada kita betapa ironisnya kondisi rakyat dan bangsa Indonesia saat ini.
Berbagai kebijakan dan program yang dilaksanakan pemerintah untuk membangun dan
meningkatkan taraf kesehatan dan kesejahteraan rakyatnya ternyata masih jauh
dari harapan. Oleh karena itu upaya peningkatan mutu pelayanan kesehatan adalah
salah satu langkah penting untuk meningkatkan daya saing Indonesia di sektor
kesehatan. Upaya ini tentunya membutuhkan kerjasama berbagai pihak terkait,
tidak hanya pemerintah, masyarakat secara sadar harus melibatkan diri secara
aktif, sehingga terdapat sinergi yang baik bagi upaya peningkatan mutu
pelayanan kesehatan.
Di
era globalisasi kesehatan saat ini, dengan alasan peningkatan mutu pelayanan
kepada para pasien atau konsumen, sektor kesehatan melalui rumah sakit memang
telah menunjukkan sebuah revolusi besar dalam hal mutu pelayanan, namun semua
bentuk peningkatan mutu pelayanan itu ada harga yang harus dibayar oleh pasien
atau konsumen. Sehingga disini mulai diadakan perhitungan untung-rugi, saat ini
di Indonesia telah banyak bermunculan rumah sakit-rumah sakit bertaraf
internasional sebagai jawaban atas tuntutan peningkatan mutu layanan, namun
apakah rumah sakit itu benar-benar rumah sakit internasional dengan prosedur
pelayanan dan mutu internasional atau hanya berlabel internasional dengan
standar pelayanan dan mutu yang rendah.
Globalisasi
Kesehatan menjadikan dunia kesehatan yang selama ini sarat dengan aspek
humanitarian sebagai salah satu indikator kualitas sumber daya manusia (SDM),
ternyata telah mengalami distorsi dan menjadi elemen pokok komoditas ekonomi
yang menggiurkan. Rumah sakit sebagai
penyedia dan pelayan kesehatan yang dikelola oleh pemerintah dan swasta yang seharusnya
mengedepankan aspek kemanusiaan dan sosial ternyata mulai mengadopsi
faktor-faktor ekonomi yang berbasis kapital dan beorientasi ke arah
neoliberalisme sektor kesehatan, sehingga terjadi disorientasi pemahaman
substansi makna kesehatan. Rumah sakit telah menjadi salah satu sektor prospektif
yang ternyata sangat menggiurkan karena dapat mendatangkan laba besar bagi
pengelolanya. Rumah sakit telah menjadi bagian dari komoditas ekonomi yang
mengarah pada eksploitasi hak kesehatan publik.
Melihat realitas yang ada
bahwa saat ini dunia kesehatan sudah mulai meninggalkan aspek kemanusiaan dan
sosial, cenderung mengejar keuntungan serta semakin sulit dijangkau oleh rakyat
kecil, saya melalui tulisan ini akan menyampaikan bagaimana mekanisme globalisasi
kesehatan, bagaimana rumah sakit sebagai penyedia dan pelayan jasa kesehatan
menjadi barang yang mahal dan tidak terjangkau, bagaimana tindakan pemerintah
dalam menghadapi tantangan globalisasi kesehatan.