21 Juli 2011

KELUARGA JAWA DALAM PERUBAHAN JAMAN (Antara Era Tahun 1950an dan Tahun 2007)

Erik Aditia Ismaya 

Keluarga merupakan satuan yang terkecil dalam masyarakat. Keluarga mempunyai peran yang besar dalam membentuk sebuah bangsa yang besar seperti Indonesia. Keluarga Jawa merupakan bagian dari ribuan bahkan jutaan keluarga yang ada di Indonesia yang turut berperan dalam membangun bangsa ini. Seiring berjalannya waktu dan perubahan jaman, maka dalam keluarga pun terjadi perubahan dalam segala hal tak terkecuali dalam keluarga Jawa. Atas dasar tersebut diatas maka dibawah ini akan disajikan bagaimana perubahan yang terjadi pada keluarga Jawa dari era tahun 1950an dan era tahun 2007 ini. 


Era Tahun 1950an 
Pertalian keluarga dalam masyarakat Jawa mempunyai ikatan sosial yang ketat, khas dan askriptif. Keluarga Jawa mempunyai peranan yang penting dalam masyarakat tradisional dalam membangun kekuatan ekonomi, politik dan bahkan keagamaan. Keluarga jawa mempunyai peran yang besar dalam proses sosialisasi yaitu dalam pemeliharaan kontinyuitas normatif dari generasi ke generasi. Nilai kejawaan yang paling dalam dan paling terserap itu dipertahankan tidak saja melalui cara-cara sosialisasi yang ditempuh orang tua Jawa atas anak-anak mereka melainkan melalui struktur sistem pertalian kekeluargaan itu sendiri. 
Somah, merupakan satu-satunya unit pertalian keluarga yang penting. Somah terjalin dengan rapat dengan somah-somah lainnya. Somah mempunyai peran penting dalam kehidupan kampung. Setiap kelompok somah tampil dihadapan anggota kelompok somah lainnya sebagai suatu unit sosial. Dari sudut ekonomi, rumah tangga somah merupakan kelompok konsumsi dasar. Disamping tugas-tugas ritual dan ekonomi serta sosialisasi anak, rumah tangga somah tersebut juga menjalankan tugasnya yang lain, yaitu mengurus para anggota keluarga yang tidak dapat mengurus dirinya sendiri, baik itu karena sakit, menganggur, umur tua dan yatim piatu. Ada hal yang penting dalam pandangan Jawa tentang ikatan kekeluargaan yaitu bahwa setiap individu mempunyai kebebasan dalam bertindak yang terbuka. 
Ada empat macam asas yang digunakan untuk membedakan dan mempersamakan pertalian kekeluargaan dalam keluarga jawa. Keempat asas itu adalah bilateralitas, generasi, senioritas dan seks. Dalam bilateral dan generasional memiliki arti bahwa istilah-istilah yang digunakan dalam keluarga tersebut sama. Dari bentuk bilateral dan generasional ini maka lahirlah suatu bentuk stratifikasi horizontal atas semua sanak saudara tersebut. Perbedaan senioritas di keluarga jawa dipakai untuk merinci kategori-kategori keturunan ke dalam golongan-golongan yunior dan senior. Ukuran kelamin seperti halnya ukuran kesenioran, tidak diterapkan pada generasi-generasi diatas orang tua untuk dibawah diri. 
Asas yang juga digunakan selain empat macam asas tersebut adalah asas yang digunakan untuk membedakan golongan-golongan sosial dalam keluarga yang berlaku dan mungkin lebih penting dalam menentukan hubungan seseorang terhadap berbagai sanak saudaranya ketimbang semuanya, asas ini adalah jarak. Terdapat dua kaidah yang paling menentukan pola pergaulan dalam masyarakat Jawa. Kaidah pertama, mengatakan bahwa dalam setiap situasi manusia hendaknya bersikap sedemikian rupa hingga tidak menimbulkan konflik. Kaidah kedua menuntut agar manusia dalam cara bicara dan membawa diri selalu menunjukkan sikap sikap hormat terhadap orang, sesuai dengan derajat dan kedudukannya. Kedua prinsip disebut prinsip kerukunan dan prinsip hormat. Rukun berarti “berada dalam keadaan selaras”, “tenang dan tenteram”, “tanpa perselisihan dan pertentangan”, “bersatu dalam maksud untuk saling membantu”. Rukun adalah keadaan ideal yang diharapkan dapat dipertahankan dalam semua hubungan sosial, dalam keluarga, dalam rukun tetangga, di desa, dalam setiap pengelompokan tetap. Suasana seluruh masyarakat seharusnya bernafaskan semangat kerukunan. Rukun mengandung usaha terus-menerus oleh semua individu untuk bersikap tenang satu sama lain dan untuk menyingkirkan unsur-unsur yang mungkin menimbulkan perselisihan dan keresahan. Hormat merupakan suatu unsur dalam setiap situasi sosial di jawa. Hormat merupakan tata karma, aturan tindak-tanduk yang layak dalam keadaan tertentu. Pernyataan hormat menempatkan seseorang dalam suatu kedudukan, kedudukan ini bergantung pada sejumlah sistem tataran yang berbeda-beda yang masing-masing merdeka. Sistem ini meliput : seks, umur, kekayaan, jabatan dan cara hidup. Dalam keluarga jawa hormat dapat ditunjukkan dari sikap badan, tangan, nada suara, istilah penyapa dan tatanan bahasa. Ini terbukti dengan adanya tataran bahasa dalam keluarga jawa, yakni hormat (krama) dan akrab (ngoko) serta adanya penambahan dalam kategori sangat hormat (krama inggil). 
Orang jawa tidak mempunyai konsep keluarga sedarah sebagai kesatuan. Kata Kulawarga, sanak-sadulur, sedulur berarti “saudara” dan ini tersebar luas secara sosial maupun geografis. Namun orang jawa mengenal istilah saudara dekat dan saudara jauh. Saudara dekat yaitu keempat kakek-nenek dan cucu mereka, ini juga dikenal saudara sedarah. Keluarga dekat dapat menjadi saudara jauh karena percekcokan atau kediaman yang berjauhan dan sebaliknya. Perkawinan di Jawa biasanya bersifat monogami. Poligami diijinkan dan mengangkat derajat seseorang tetapi jarang dilakukan. Perkawinan tidak dipandang semata-mata sebagai penggabungan dua jaringan keluarga yang luas. Tetapi yang dipentingkan adalah bagi orang jawa pembentukan sebuah rumah tangga baru dan mandiri. Pandangan ini nampak jelas dalam istilah yang lazim untuk kawin yaitu omah-omah atau somahan. Kebanyakan perkawinan diatur oleh orang tua kedua belah pihak. Orang tualah yang mencarikan bakal jodoh dan memutuskan hari perkawinan, terutama apabila merupakan perkawinan pertama untuk anak mereka. Jarang ada kecenderungan untuk mencari jodoh di kalangan keluarga dekat. Untuk seorang anak perempuan, perkawinan pertama segera dipersiapkan segera sesudah haidnya yang pertama, karena orang tua khawatir bahwa anak gadisnya akan terkenal sebagai perempuan bermoral cabul. Adapun anak laki-laki biasanya tidak menikah sampai sesudah benar-benar dewasa dan dapat menyangga sebuah keluarga dengan layak. Tidak ada orang mendirikan rumah untuk sepasang suami- istri baru, sebab resiko terlampau besar apabila mereka bercerai dalam setahun. Anak-anak sangat diinginkan dan disenangi. Sepasang suami-istri yang tidak subur akan pergi menempuh perjalanan panjang untuk mencari petuah dan petunjuk demi hadirnya seorang anak. 
Metode orang Jawa dalam menangani atas harta kekayaan yang berbenturan pada saat terjadinya perceraian atau kematian didasarkan pada pertimbangan langsung atas jasa dan kekuatan khusus pada masing-masing tuntutan, tujuannya bukanlah untuk mencapai suatu keadilan abstrak yang diperlukan melainkan mencari pemecahan yang disepakati oleh semua pihak yang bersangkutan. Lebih diutamakan kebulatan pendapat ketimbang jawaban yang “benar”. Pada saat terjadi perceraian, harta pribadi (barang bektan) suami atau istri tetap menjadi milik masing-masing, sedangkan harta bersama (gono-gini) yang diperoleh pada saat masih ada ikatan perkawinan dibagi dalam perbandingan dua bahagian untuk suami dan satu bahagian untuk istri. Harta warisan karena kematian, diterima oleh anak jika si mati mempunyai anak dan jika tanpa anak maka harta si mati kembali kepada orang tua dan saudara dekatnya dan harta bersama dibagi menurut perbandingan 2 : 1. Seorang janda tidak berhak atas harta kekayaan pribadi suaminya.

Era Tahun 2007 atau Jaman Modern 
Di jaman yang modern dan serba cepat ini, perubahan begitu cepat bergulir dan menyentuh segala penjuru aspek kehidupan masyarakat di dunia. Tidak ketinggalan pula proses perubahan ini menyentuh pilar-pilar kehidupan keluarga. Konsep keluarga telah bergeser mengikuti trend yang sedang berlangsung. Pada tahun 1950an, konsep keluarga merupakan sebuah ikatan yang terjalin atas dasar perkawinan dan hubungan darah yang terdiri dari suami, istri dan anak-anak yang tinggal dalam satu rumah atau sering disebut somah. Pada masa sekarang ternyata konsep keluarga telah berubah sedemikian rupa, keluarga tidak lagi harus seperti apa yang harus disampaikan diatas. 
Sebuah keluarga dapat saja terbentuk tanpa hubungan perkawinan dan tanpa hubungan darah, keluarga juga melulu tidak harus ada suami ataupun istri atau marak dikenal dengan Single Parent. Konsep tinggal dalam satu somah juga mulai memudar, ada sebuah keluarga yang harus tinggal terpisah karena berbagai alasan. Ikatan sosial yang ada juga menjadi renggang karena jarak dan waktu yang memisahkan. Peran dan fungsi keluarga juga sudah mulai banyak diambil alih oleh pihak ketiga. Sebagai contoh adalah fungsi pendidikan, dahulu keluarga merupakan pusat pendidikan bagi anak sebelum anak-anak terjun ke dunia luar, namun sekarang fungsi ini sudah mulai diambil oleh lembaga-lembaga pendidikan usia dini atau kelompok bermain (Play Group). Sebagai akibat dari diambil alihnya fungsi keluarga dalam proses sosialisasi maka pada masa sekarang ini banyak anak-anak kecil yang tidak mengerti akan nilai-nilai luhur budaya jawa atau yang lazim disebut ora njawani. Norma-norma dalam masyarakat pun bergeser mengikuti trend. 
Somah yang merupakan satuan unit terpenting dalam kehidupan kampung juga sudah mulai dipertanyakan, hal ini karena berkembangnya sikap yang individualis dari tiap-tiap individu dalam masyarakat, namun somah juga masih tetap menjalankan beberapa tugas dan fungsinya dalam kehidupan bersama, diantaranya tugas dan fungsi untuk yaitu mengurus para anggota keluarga yang tidak dapat mengurus dirinya sendiri, baik itu karena sakit, menganggur, umur tua dan yatim piatu. Asas yang berlaku dalam keluarga jawa juga mengalami pergeseran, hal ini dicontohkan ketika bagaimana seorang anak kecil harus dipanggil tante, oleh keponakannya yang sudah dewasa karena sang keponakan merupakan anak dari kakak anak kecil tersebut dan hal ini sudah jarang terjadi. 
Prinsip rukun dan hormat tetap dipegang erat sampai sekarang, namun juga terjadi pergeseran. Rukun yang menjadi dambaan bagi setiap orang kadang berubah menjadi perselisihan ketika terjadi perebutan harta warisan. Kadar hormat juga mulai berkurang karena bergulirnya paham demokrasi. Tatanan bahasa dalam pergaulan yang dibedakan menurut tingkatnya telah mulai ditinggalkan karena terasa kaku, orang mulai banyak menggunakan bahasa yang umum yaitu bahasa Indonesia dalam pergaulan dan tentu saja rasa hormat masih dijunjung. 
Pada masa sekarang perkawinan lebih bersifat terbuka, anak-anak lebih bebas untuk memilih, memilah dan menentukan jodoh mereka. Budaya jodoh-menjodohkan juga sudah mulai memudar. Usia perkawinan juga mulai dibatasi, kalau dulu anak perempuan akan segera dinikahkan setelah haid yang pertama maka pada masa sekarang hal itu jarang sekali terjadi. Orang semakin sadar dan terbuka wawasannya. Perkawinan dipersiapkan dengan matang dan tentunya dengan kebahagiaan yang amat sangat karena jodoh mereka adalah pilihan mereka sendiri, pasangan pengantin baru juga lebih senang untuk hidup mandiri ketimbang menumpang orang tua salah satu pihak pengantin, bahkan banyak orang tua yang mendukung keputusan ini dengan membantu pasangan baru ini membeli atau membuat rumah baru. 
Kehadiran anak juga sangat diharapkan, namun mungkin yang membedakan adalah jarak antara perkawinan dan kelahiran anak serta jumlah anak yang terbatas. Pasangan baru mungkin dengan segera ingin mempunyai anak atau menunda demi menabung dan karir masing-masing. Semakin mahalnya kebutuhan hidup juga membuat mereka berpikir untuk mengurangi jumlah anak. Poligami juga diijinkan, namun masyarakat mempunyai pandangan yang jelek terhadap poligami sehingga sangat jarang orang melakukan poligami. Perceraian agaknya juga masih banyak terjadi, namun kasus yang menyebabkan mungkin berbeda dari tahun 1950an. Pada kasus perceraian, sekarang masyarakat sudah mulai menggunakan pengadilan dan jasa pengacara untuk membantu proses perceraian ini. Perebutan harta dalam perceraian masih terjadi, dan lagi-lagi mereka menggunakan jasa pengacara dan pengadilan sebagai media perebutan, tidak hanya harta anak juga menjadi rebutan dalam kasus perceraian. Dan pembagian harta menggunakan hukum yang berlaku. 

DAFTAR PUSTAKA 
Geertz. Hilderd. 1983. Keluarga Jawa. Jakarta : Grafiti 
Herusatoto, Budiono. 2003. Simbolisme dalam Budaya Jawa. Yogyakarta : Hanindita 
Suseno, Magnis Franz. 2003. Etika Jawa (Sebuah Analisa Falsafi tentang Kebijaksanaan Hidup Jawa). Jakarta : Gramedia Pustaka Utama

Tidak ada komentar: